Suatu Pesan Pribadi 2
soal interkultural serta persepsi pancaindera atau soal rasa
„Suatu Pesan Pribadi I“ sengaja lebih ditujukan kepada aspek filsafat hidup dalam pemikiran saya. Mudah-mudahan teks pendek itu juga merangsang orang untuk membaca artikel tersebut secara lengkap. Dalam tulisan berikut ini, saya berusaha untuk merumuskan beberapa kalimat yang menceritakan lebih konkrit tentang diri saya sendiri, yaitu seorang komponis Barat yang memainkan gamelan Bali sejak tahun 1978, hidup di Indonesia sekitar 9 tahun lamanya, dan yang sangat suka masak.
Estetika Interkultural – Sintesis atau Antitesis serta Kepentingan dari yang berhubungan dengan Pancaindera (Inggris: Sensuousness) atau Rasa
Buat saya pribadi, pertanyaan tentang kepentingan nuansa Barat atau nuansa Indonesia dalam musik saya, belum pernah menjadi suatu pertanyaan tentang sintesis atau antitesis. Bahasa musik seseorang hanya bisa menjadi hasil kumulatif dari suatu transformasi lengkap dari semua pengalaman yang dimiliki pada suatu saat tertentu dalam kehidupannya. Inilah proses mencari budaya diri sendiri. Yang dicari adalah sesuatu yang otentik serta yang melampaui dikotomi (yang diduga) antara sintesis and antitesis.
Praktik gamelan Bali, atau lebih baik, hidup dalam masyarakat Bali memang sangat mempengaruhi saya. Akan tetapi sama halnya dengan big band jazz, improvisasi bebas, kehidupan saya di Jerman Selatan-Barat, serta kunjungan ke Jepang dan India Selatan. Lalu bagaimana semua ini bisa berada di samping cinta saya pada musik Maurice Ravel dan Igor Strawinsky; dan jangan lupa musik dari Perotin, Guillaume de Machault, Mozart, Messiaen dan Frank Zappa, hanya untuk menyebut beberapa di antaranya?
Dimensi waktu dan ruang tampaknya tidak lagi terpisah dengan jelas satu sama yang lain. Dua-duanya lebih kerjasama dengan cara yang selalu berbeda. Di dalam keanekaragaman estetis, tugas saya adalah untuk menentukan suatu posisi artistik yang otentik.
Dalam upaya ini, perlu dicatat bahwa terutama pada budaya Eropa tengah, aspek waktu, yaitu kewajiban terhadap sejarah, lama sekali terlalu mendominasi. Ingatlah kalimat terkenal dari Adorno, yaitu:
...Aturan-aturan sama sekali tidak diciptakan dengan ajakan. Aturan-aturan tersebut merupakan konfigurasi dari pemaksaan historis dari materi musik sendiri (Theodor W. Adorno, Philosophie der neuen Musik, Frankfurt, 1958, halaman 61, terjemahan oleh penulis).
Terus terang, saya memang memahami Adorno, tetapi saya belum pernah puas dengan penegasan tersebut. Kepentingan ruang, yaitu dari lingkungan sosio-kultural sampai pada budaya-budaya asing, bagi saya selalu sama pentingnya.
Di sini ada saat untuk menjelaskan juga tentang minat saya terhadap makanan dan minuman, walaupun barangkali dianggap kurang penting. Bagi saya, makan, masak dan minum selalu merupakan tanda-tanda lokal yang positif dari sebuah budaya, sekaligus merupakan landasan untuk kepentingan persepsi dari semua pancaindera (sensuousness) dalam rangka komunikasi antarmanusia. Dua-duanya adalah ekspresi otentik sebuah budaya yang berkembang secara historis. Yang dicapai oleh seorang petani anggur dalam upayanya menyatu alam dengan konsepnya sendiri, senantiasa saya kagumi. Hal yang sama berlaku untuk para tukang masak yang mampu menyatu kealamiahan bersama dengan unsur sensual yang magis. Maka memasak merupakan hobi saya yang pertama. Sayang sekali saya tidak mampu membeli suatu kebun anggur. Namun saya bisa menikmati hasil di kebun-kebun tersebut dari orang lain. Pada bagian „links“ terdapat beberapa alamat petani anggur yang tampaknya mengikuti konsep seperti yang saya miliki.
Mengenai tukang masak saya belum pernah akan melupakan Alain Chapel (alhm.), sedangkan di Jerman terdapat Franz Keller jr., Karl-Josef Fuchs, Eckhart Witzigmann, Harald Wohlfahrt dan akhirnya Roy Petermann yang saya kagumi. Namun bila saya kembali ke akar minat saya ini, perlu juga disebut I Gusti Gedé Raka (1918 – 2002) dari Saba/Bali. Beliau merupakan pemimpin keluarga, dimana saya selalu tinggal sejak tahun 1978. Beliau sangat sensitif dan pintar dengan bumbu-bumbu sambil dia masak sendiri. Padahal, beliau adalah guru tari dan karawitan yang mengandung banyak nuansa filsafat di dalamnya.
Semua ini tidak banyak menceritakan tentang bahasa musik saya. Namun hal-hal ini banyak memberi tahu tentang rasa hidup serta rasa tanggung jawab sebagai landasan aktivitas kreatif. Dengan demikian, proses kreatif mirip semacam “ilmu tafsir” dalam arti prinsip komponis Helmut Lachenmann, yaitu “menggarap sebagai pengalaman eksistensial”. Berdasarkan ini, menggarap sebagai “global player” tidak seharusnya mencerminkan pengalaman hidup yang bi-atau multikultural pada suatu level yang dangkal saja. Di sinilah saya melihat tugas atau tambahan saya bagi budaya dunia ini. Saya hanya menambah suatu nuansa pribadi kepada keanekaragaman abadi dunia musik ini.
Postskriptum:
Barangkali Anda sedang mencari analisis-analisis komposisi saya yang lebih rinci dan mendalam. Saya sengaja tidak memuatnya ke dalam website ini, sebab dibutuhkan wawasan yang terlalu spesifik. Jadi, saya hanya merekomendasikan buku-buku berikut ini:
1. Esei dari Dieter Mack dalam buku: Musik-Kulturen – Darmstädter Diskurse 2, diedit oleh Jörn Peter Hiekel, Saarbrücken 2008, Pfau-Verlag.
2. Torsten Möller (editor): Wenn A ist, ist A – der Komponist Dieter Mack, Saarbrücken 2008, Pfau-Verlag
3. Dieter Mack: Musik Kontemporer, Bandung 2002/2004, MSPI, arti-line.